Friday, December 25, 2009

1: Pilot

Aku telat. Alarmku baru berbunyi pukul 07:30. Tadi malam ternyata aku salah setting alarm, yang seharusnya 06:30 malah aku set 07:30. Sial. Aku bergegas ke kamar mandi untuk bersiap-siap. Aku hanya punya waktu sedikit untuk bersih-bersih diri seadanya. Gosok gigi dan cuci muka saja, tidak ada waktu untuk mandi. Sudah tidak sempat lagi sarapan, aku menyambar sekotak susu dari lemari es dan langsung keluar apartemen. Tampaknya aku harus berangkat dengan mobil agar tidak terlalu telat sampai kantor. Padahal aku sudah menyiapkan perlengkapan bersepedaku tadi malam.

Macet. Jam tanganku menunjukkan pukul 07:53, padahal aku ada meeting dengan calon klien baruku pukul 08:00. Sharp! Calon klienku ini orang pribumi, asli Maluku. Dari pengalamanku bekerja selama 5 tahun, belum pernah ada klien pribumi yang mengenal toleransi keterlambatan. Apalagi ini meeting pertamaku dengannya. Ah.. tapi kenapa harus macet di saat seperti ini? Sejak 10 menit yang lalu mobilku belum juga bisa bergerak maju. Ada apa ini? Tumben sekali macet. Seingatku terakhir kali terjadi kemacetan di Jakarta adalah setahun lalu ketika ada arak-arakan massal timnas sepakbola mengelilingi kota sambil membawa Piala Dunia yang baru saja mereka menangkan di Afrika Selatan.

Aku coba aktifkan GPS gadget di mobilku. Info traffic di gadget mengatakan bahwa ada razia KTP di jalan ini berjarak beberapa puluh meter di depan posisiku saat ini. Akhir-akhir ini razia sering diadakan oleh polisi sebagai pengamana preventif. Pekan depan Indonesia (tepatnya kota Jakarta) untuk kesekian kalinya akan menjadi tuan rumah pertemuan para kepala negara anggota G9 (Group of Nine, forum sembilan negara maju) di mana Indonesia saat ini sedang menjabat sebagai ketuanya. Aneh, seharusnya razia tidak memakan waktu selama ini. Apalagi sampai membuat macet total, kendaraan tidak bergerak. Aku menyesal tadi tidak jadi bersepeda. Kulihat di jalur sepeda para biker melaju dengan begitu lancarnya. Belum lagi nanti aku harus memarkirkan mobilku di gedung parkir umum yang berjarak seratus meter dari kantorku. Benar-benar sial.

Penasaran, aku coba cek Google News Indonesia dari smartphone-ku. Mungkin saja sudah ada update berita terbaru mengenai razia ini, mengapa sampai membuat jalan macet parah. Benar saja, ada berita tentang kemacetan ini. Ternyata seorang TKM (tenaga kerja Malaysia) ilegal berbuat keonaran ketika tertangkap razia. TKM itu menolak untuk ditangkap karena tidak ingin dideportasi. Separah itukah keonaran yang ia timbulkan sampai menimbulkan kemacetan seperti ini? Ah.. merepotkan saja!

Tiba-tiba seorang polisi menghampiri mobilku. Dia mengetuk kaca jendela mobilku dan memberikan isyarat agar aku membukanya. Setelah aku buka, polisi ini langsung menghadiahiku surat tilang karena aku telah lalai tidak mengenakan sabuk pengaman. Ah sial. Karena tadi terburu-buru aku sampai lupa mengenakannya. Lengkap sudah kesialanku pagi ini.

”Mau jalur cepat Pak? Saya bisa bantu supaya Bapak tidak perlu repot2 mengurus penilangan ini,” polisi itu berkata sambil menjentikkan jari tangan tanda meminta uang. Apa? Aku tidak menyangka di jaman sekarang ini masih ada polisi jadul seperti ini. Main suap? So last century! Aku langsung menolak tawarannya dengan menggelengkan kepala. Bukan apa-apa, takutnya itu hanya jebakan. Jika aku sampai menerima tawaran untuk menyuap dan ternyata itu jebakan, bisa-bisa aku dipenjara seumur hidup. No way! Aku masih sayang kebebasanku.

Mendapat penolakan dariku ternyata membuat polisi itu tidak senang. Dengan kasar ia memaksa membuka pintu mobilku dan menggeretku keluar. Setelah aku keluar mobil, dengan begitu kerasnya polisi itu mendorongku, membuat aku terjerembab jatuh.


Jduk!

Ouch. Sakit. Kepalaku terantuk lantai kamar tidurku. Ah.. untunglah ternyata hanya mimpi. Lagipula, di negara antikorupsi nomor satu dunia ini mana ada aparat penegak hukum seperti dalam mimpiku tadi. Namun yang namanya mimpi selalu terasa begitu nyata ketika kita sedang di alam mimpi. Sudahlah, aku harus mempersiapkan diri untuk meeting jam 08:00 nanti.

Jam berapa sekarang? Aku lihat jam meja di samping tempat tidurku. Pukul 06:09. Masih kepagian. Aku coba cek alarm, sekedar ingin tahu jam berapa aku set alarm tadi malam. Ternyata mimpi itu benar, aku set alarm jam 07:30! Untungnya aku terjatuh dari tempat tidur. Ironis memang, namun dibandingkan dengan telat menghadiri meeting pertama karena bangun kesiangan, aku lebih memilih bangun kepagian dengan cara jatuh dari tempat tidur—dan dengan benjolan kecil di dahiku.

Bangun pagi memang tidak pernah ada ruginya. Aku jadi lebih santai bersiap-siap ke kantor. Setelah mandi dan berpakaian, aku membuat sepotong sandwich omelet dan segelas jus tomat untuk sarapanku. Karena masih banyak waktu, aku sempatkan me-review ulang materi yang akan dibahas di meeting nanti.

Pukul 07:15 aku berangkat ke kantor dengan bersepeda. Pagi yang indah. Udara terasa sejuk. Langit begitu cerah. Kicauan burung di taman kota yang asri menyempurnakan keindahan pagi ini. Pemerintah kota memang sangat memanjakan para pengendara sepeda. Pemandangan taman kota yang indah disuguhkan di sepanjang jalur khusus sepeda. Ditambah dengan indahnya panorama sungai Ciliwung yang airnya begitu jernih. Ah.. senangnya hidup di kota ini. Kota Jakarta. Kota eksotis yang berhasil dimodernisasi. Salah satu kota paling diminati untuk dijadikan tempat tinggal oleh penduduk dunia. Dari polling terakhir, Jakarta berhasil menyalip London di posisi kedua, yang berhasil membuat Jakarta hanya satu peringkat di bawah Paris, kota idaman nomor satu.

Hanya butuh 20 menit bersepeda untuk sampai kantor dari apartemenku. Seperti biasa, parkir sepeda selalu penuh walaupun masih sepagi ini. Beruntung sekali aku masih mendapatkan tempat parkir. Tempat parkir khusus sepeda ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat merantai sepeda agar tidak dicuri—walaupun kemungkinannya sangat kecil ada pencurian sepeda di kota dengan tingkat kriminalitas paling rendah ketiga di dunia ini. Tempat parkir ini juga berfungsi sebagai charger listrik untuk GPS gadget, pemutar musik, dan alat elektronik lainnya yang tertanam pada sepeda. Bentuknya hanya menyerupai palang besi mendatar yang memiliki beberapa cekungan yang berjejer untuk menyandarkan sepeda. Gedung kantorku hanya menyediakan tempat parkir untuk lima ratus sepeda, padahal pegawai di kantor ini berjumlah sekitar seribu lima ratus orang yang sebagian besar pengguna sepeda.

Jika tidak dapat tempat parkir, terpaksa aku harus memarkirkan sepeda di pinggir jalan. Atau jika tetap ingin tempat parkir khusus sepeda, aku harus ke gedung parkir umum kota yang berjarak sekitar seratus meter dari gedung kantor. Peruntukan utama gedung parkir tersebut adalah untuk parkir kendaraan bermotor. Namun gedung itu juga menyediakan tempat parkir sepeda. Di gedung seluas empat hektar dengan lima belas lantai itu semua kendaraan bermotor diparkirkan. Setiap gedung yang berada di zona ekonomi (pusat kegiatan perekonomian kota yang terletak di belahan tengah dan utara kota), seperti gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan tidak diperbolehkan menyediakan tempat parkir kendaraan bermotor. Di zona ekonomi terdapat lima gedung parkir umum yang tersebar di beberapa sudut kota.

Gedung yang diperbolehkan memiliki tempat parkir kendaraan bermotor hanyalah gedung apartemen, yang itupun berada di zona pemukiman (di belahan timur, selatan dan barat kota). Jadi semua pengendara kendaraan bermotor—yang tidak begitu banyak—ketika berada di zona ekonomi harus memarkirkan kendaraannya di gedung ini kemudian berjalan kaki atau naik MRT (mass rapid transportation) ke tempat tujuannya. Selain sangat efektif untuk mengurangi tingkat kemacetan, pengaturan seperti ini sangat bermanfaat pada kesehatan lingkungan. Penduduk dan pemerintah kota benar-benar menyadari pentingnya udara yang bebas dari polusi asap kendaraan bermotor.

Selesai memarkirkan sepeda, aku memasuki gedung kantor. Mas Darto, satpam gedung ini menyapaku dengan ramah seperti biasanya. Sekilas aku membaca beberapa pengumuman dan berita seputar kantor di layar besar dekat frontdesk. Tidak ada yang terlalu penting. Kemudian akupun menaiki lift untuk menuju ke ruang kerjaku di lantai enam. Ok. Aku siap untuk menghadapi meeting pentingku kali ini.